Rabu, 29 Juli 2009

Antara Jakarta, Bandung dan Handphone.

Saat tengah menonton TV, saya melihat adegan dua orang yang saling menyukai telpon-telponan sebelum tidur. Keduanya sama-sama salah tingkah, bingung dan deg-deg-an meskipun berjauhan jarak.

Melihat adegan itu, saya jadi geli sendiri. Saya jadi ingat kejadian beberapa tahun silam. Tepatnya pertengahan tahun 2005 silam, saya bertemu dengan seorang pria asal kota bandung. Pria itu kebetulan sedang bermain ke Jakarta. Kami bertemu secara tidak sengaja saat menghadiri satu acara. Pandangan kami bertemu. Kami lalu berkenal, saling bertukar nomer hp. Sayang pertemuan kami berlangsung sangat singkat. Baru beberapa waktu bertemu, dia sudah harus kembali ke kotanya. Saat itu saya, ingat, saya begitu berat melepas kepegiannya. Saat ia akan pergi, tangan saya enggan melepaskannya, seolah kalau genggaman tangan itu lepas, lepas pula ia dari saya.

Nyatanya tidak begitu. Sejak pertemuan itu, kami sering sms-an dan telpon-an. Anehnya kalau diingat, kami selalu melakukan hal itu setiap hari jumat, sabtu dan minggu. Sampai-sampai saya hafal tepat jam dan waktunya. Tak terasa sudah sebulan lebih kami intens berhubungan via sms dan telpepon. Semakin lama, saya semakin merasa nyaman dengannya, meski saya belum begitu mengenalnya. Satu hari, dia mengungkapkan perasaannya kepada saya.

Dia bilang, “I admired you, I want you to be my girl.”

Saya tidak yakin. Saya tanya, bagaimana saya tahu kalau dia serius.

He said, “I will prove it, I will say it three times…first in sms, second by phone, and the last directly.”

Jelas saja saya melayang-layang mendengar rayuan pulan kelapa itu. Perempuan nama yang gak akan klepek-klepek kalau dirayu. Kelemahan perempuan memang terletak di telinga, walau tidak sepenuhnya.

Saya pun menjawab, “ Oke, akan aku tunggu bukti itu.”

Saya pun menunggu. Yang pertama sudah terbukti, kemudian yang kedua juga sudah. Tapi yang ketiga, tak jua kunjang datang. Saya sempat kecewa kepadanya, ternyata dia sama saja dengan pria lainnya. Hanya mengobral janji. Seminggu tak ada kabar darinya, tak ada sms, tak ada telepon, bahkan tak jua nampak batang hidungnya. Saya benar-benar kecewa. Sejak saat itu saya bertekad membuang semua tentang dia. Dia yang saya beri nama lelaki senja.

Tapi ternyata, saat tengah mengutak-atik HP saya, saya melihat sms-sms darinya di fordel screening message (SM). Ternyata saya tak sengaja mengutak-atik HP saya dan nomer pria itu masuk ke SM. Jelas saja sms-nya tidak masuk ke HP saya, tapi langsung difilter. Oala bodohnya saya. Saya lalu menghubungi lelaki senja saya itu. Tapi berkali-kali saya telpon tidak kunjung ada jawaban. Hari-hari berikutnya saya coba kembali menghubunginya, tapi ternyata nomernya sudah tidak aktif. Saya kembali kecewa dan putus asa. Mungkin dia memang harus tamat.

Saya pun mulai melupakan dia dan menyibukan diri dengan rutinitas. Selang sebulan kemudian, saya menerima telepon dari satu nomer yang tidak saya kenal. Ternyata itu dari dia, lelaki senja saya yang sudah saya kembalikan ke negeri senja. Dari percakapan itu, saya baru tahu kalau ternyata beberapa hari setelah menelepon saya dan bilang akan datang ke kota saya menemui saya, dia jatuh sakit tipus. Dia mencoba memberitahu saya, tapi saya tak kunjung membalas sms-nya. Saya jadi merasa bersalah, karena tak sengaja telah menfilter nomernya. Tak lama setelah dia sembuh, HP-nya hilang, karena itu baru sekarang dia bisa menghubungi saya. *entah benar atau tidak* tapi saat itu saya percaya padanya. Dia lalu berjanji akan memperbaiki semuanya. Dia berjanji akan segera menemui saya dan menuntaskan janjinya. Saya hanya bilang, saya akan menunggu.

Malang, benar-benar malang. Hanya berselang sehari setelah saya bertelponan dengannya, HP saya hilang. Putus sudah kontak kami. Benar-benar putus. Mungkin kami memang tidak berjodoh. Tapi dia akan tetap menjadi lelaki senja saya selamanya.

Tidak ada komentar: